Laman

Selasa, 24 Mei 2016

Referat : Bantuan Hidup Dasar untuk Dewasa

Referat


BANTUAN HIDUP DASAR UNTUK DEWASA
2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care

Bantuan hidup dasar (BHD) adalah fondasi dari pertolongan terhadap henti jantung. Aspek fundamental dari BHD yaitu mengenali sudden cardiac arrest (SCA), dan mencari pertolongan emergensi, resusitasi jantung paru (RJP) segera, dan defibrilasi cepat dengan automated defibrillator external (AED). Pengenalan awal dan respon terhadap serangan jantung dan stroke juga menjadi bagian BLS. Perubahan dari panduan BLS 2005 menjadi BLS 2010 adalah sebagai berikut:
·         Mengenali SCA berdasarkan keadaan unrespon dan pernafasan tak normal (tidak bernafas atau hanya megap-megap)
·         “Look, Listen, Feel” dihilangkan dari algorime BHD
·         Dianjurkan untuk hanya melakukan Hand Only CPR (hanya melakukan penekanan dada saja, tanpa memberikan tiupan dua kali) bagi penolong awam yang tidak terlatih
·         Perubahan urutan langkah-langkah RJP yaitu mendahulukan kompresi dada sebelum bantuan nafas (dari ABC menjadi CAB)
·         Menekankan pada focus untuk melakukan High Quality CPR, yang mana hal itu bisa tercapai bila kita bisa melakukan High Quality Compression. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kompresi adalah kecepatan, kedalaman, pengembangan dada yang sempurna antara masing-masing kompresi, minimal interupsi pada saat melakukan kompresi dan menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan
·         Penekanan pada pemeriksaan denyut nadi baik pada healthcare provider
·         Menyederhanakan algorima BHD
Meskipun sudah dilakukan pencegahan, SCA terus menjadi sebab kematian di dunia. SCA memiliki berbagai etiologi, keadaan saat terjadinya serangan, dan bisa terjadi dimanapun. Oleh karena itu, memerlukan strategi universal untuk mencapai resusitasi yang sukses, diantaranya yaitu:
·         Mengenali segera keadaan henti jantung dan meminta pertolongan darurat
·         Segera lakukan RJP yang menekankan pada kompresi dada
·         Defibrilasi cepat saat ada indikasi
·         Effective advanced life support
·         Perawatan pasca henti jantung
Keadaan henti jantung tidak selalu disadari secara jelas terutama bagi orang awam. Hal ini dapat menyebabkan keterlambatan atau kegagalan meminta pertolongan darurat atau dalam memulai RJP. Oleh karena itu panduan BHD ini focus pada mengenali henti jantung dengan penanganan yang tepat pada berbagai latar belakang penolong. Ketika orang awam mengenali korban tidak berespon maka harus segera minta bantuan darurat. Ketika penolong terlatih mengenali korban yang tak berespon atau dengan nafas abnormal maka segera minta bantuan darurat, kemudian harus segera dilakukan RJP.
Kompresi dada adalah komponen penting dari RJP karena perfusi selama RJP tergantung dari kompresi. Oleh karena itu, kompresi dada harus menjadi prioritas utama dalam memulai RJP pada korban dewasa dengan henti jantung. Teknik RJP harus tepat karena kualitas RJP sangat penting dalam penyelamatan nyawa, bukan hanya onset tindakan resusitasinya saja.
Defibrilasi cepat merupakan prediktor terhadap suksesnya resusitasi pada pasien SCA dengan fibrilasi ventrikel. Usaha untuk mengurangi interval dari pasien kolaps sampai dilakukannya defibrilasi dapat meningkatkan kualitas hidup korban. Defibrilasi dengan AED akan memperbaiki aritmia, pada kasus ini membolehkan bagi penolong yang tidak terlatih dalam interpretasi ritme jantung untuk melakukan defibrilasi pada korban dengan SCA.

1.      Mengenali dengan Cepat dan Meminta Pertolongan Darurat
Jika seorang penolong menemukan korban dewasa tanpa respon (tidak ada gerakan atau respon terhadap rangsangan) atau melihat seseorang yang tiba-tiba kolaps, penolong harus segera cek respon korban dengan menggoyang bahu dan meneriaki korban. Penolong awam harus segera meminta bantuan darurat jika korban tidak berespon. Apabila penolong adalah paramedis atau orang yang terlatih segera cek respon dan perhatikan korban tidak bernafas atau bernafas tak normal (megap-megap), kemudian segera panggil bantuan darurat. Saat menelepon bantuan darurat (ambulans atau 911), penolong harus menginformasikan lokasi, jumlah korban, dan jumlah penolong atau alat pertolongan yang tersedia di lokasi.

2.        Periksa Denyut Nadi
Penelitian menunjukkan bahwa penolong awam maupun yang terlatih kesulitan mendeteksi denyut nadi. Diperlukan waktu yang lama untuk mengetahui apakah pasien mengalami henti jantung. Oleh karena itu penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi, penolong awam harus mengasumsikan korban henti jantung apabila didapatkan korban dewasa yang tiba-tiba kolaps atau korban yang tak berespon tersebut tidak bernafas secara normal (megap-megap atau henti nafas).

3.        RJP segera
Kompresi Dada
Kompresi dada dilakukan secara ritmik dengan memberikan tekanan pada bagian bawah sternum. Kompresi dada menciptakan aliran darah akibat tekanan intrathoraks dan penekanan pada jantung. Aliran darah ini akan membawa oksigen ke otak dan miokardium. Untuk menciptakan kompresi dada yang efektif berikan tekanan kuat dan cepat, frekuensi minimal 100 kali per menit, dan dengan kedalaman kompresi 5 cm. Penolong harus memberikan waktu untuk pengembangan dada setiap kompresi, agar memberikan waktu jantung terisi darah sebelum kompresi berikutnya. Rasio kompresi-ventilasi 30:2 dianjurkan supaya meminimalisir frekuensi dan durasi interupsi terhadap kompresi dada yang sedang dilakukan.
Bantuan nafas
Bantuan nafas diberikan 2 kali setelah dilakukan kompresi dada sebanyak 30 kali. Setelah dilakukan kompresi, berikan bantuan nafas dengan ketentuan masing-masing bantuan nafas lebih dari 1 detik, berikan volume tidal yang cukup sehingga terlihat pengembangan dada, dan gunakan rasio kompresi-ventilasi 30:2.

4.      Defibrilasi Segera menggunakan AED
Setelah meminta bantuan darurat, seorang penolong harus mencari AED jika alat tersebut dekat dan terjangkau kemudian kembali menolong korban dengan AED. Jika terdapat dua penolong atau lebih, satu penolong melakukan RJP dan penolong kedua meminta bantuan darurat kemudian mengambil AED.
Langkah defibrilasi:
·         Nyalakan AED
·         Lakukan defibrilasi dengan cepat
·         Segera lanjutkan kompresi dada setelah dilakukan defibrilasi

5.      Strategi RJP Berdasarkan Kriteria Penolong
Berdasarkan klasifikasinya terdapat 3 tipe penolong dan 3 macam pertolongan yaitu Hands-Only CPR, RJP konvensional dengan bantuan nafas, dan RJP dengan penggunaan AED.


Penolong Awam Tak Terlatih
            Apabila orang awam menemukan korban henti jantung maka penolong tersebut harus melakukan Hands-Only CPR yaitu hanya melakukan kompresi dada, penolong dapat meminta petunjuk mengenai teknik kompresi dada melalui telepon saat meminta bantuan darurat. Kompresi dada harus dilakukan dengan kuat dan cepat. Penolong harus melakukannya sampai AED tiba atau healthcare provider (dokter, perawat) datang mengambil alih.

Penolong Awam yang Terlatih
            Semua penolong awam minimal harus melakukan kompresi dada, namun pada penolong awam yang terlatih harus melakukan RJP dengan bantuan nafas. Rasio kompresi-ventilasi adalah 30:2. Penolong harus terus melakukan RJP sampai datang AED yang siap digunakan atau datang health provider mengambil alih tindakan.

Healthcare Provider
            Semua healthcare provider harus sudah dilatih tentang bantuan hidup dasar, sehingga dapat melakukan pertolongan secara rasional. RJP dilakukan dengan siklus 30 kompresi diikuti 2 ventilasi sampai peralatan airway terpasang, kemudian penolong dapat terus melakukan kompresi dada tanpa interupsi sementara penolong lain melakukan bantuan pernafasan dengan frekuensi satu ventilasi setiap 6 sampai 8 detik (8 sampai 10 kali ventilasi per menit).
Seorang healthcare provider dapat menyesuaikan urutan pertolongan yang rasional berdasarkan penyebab arrest. Misalnya seorang penolong melihat korban yang tiba-tiba kolaps, dan diasumsikan korban mengalami henti jantung, maka penolong langsung meminta bantuan darurat (telepon ambulans atau 911), mengambil AED (bila dekat dan terjangkau), kemudian kembali ke korban untuk melakukan defibrilasi dan melakukan RJP. Apabila seorang penolong melihat korban tak sadar akibat tenggelam atau sumbatan jalan nafas maka segera lakukan RJP sebanyak 5 siklus sebelum memanggil bantuan darurat.

Gambar 1. Algoritma Bantuan Hidup Dasar bagi Healthcare Provider


Keterampilan Bantuan Hidup Dasar pada Dewasa
1.      Mengenali Arrest
            Langkah awal yang penting untuk tatalaksana henti jantung adalah mengenali secepatnya. Jika didapatkan korban dalam keadaan kolaps maka langkah awal yang harus dilakukan adalah menilai respon. Goyangkan punggung korban sambil berteriak kepadanya misalnya dengan bertanya “Apakah kamu baik-baik saja?!” Pada pasien yang responsive dia akan menjawab, bergerak, atau mengerang. Jika korban tidak berespon maka penolong harus segera mencari bantuan darurat. Healthcare provider juga harus memeriksa kenadaan nafas apakah gasping (megap-megap) atau bahkan henti nafas. Jika ditemukan korban tidak berespon dengan henti nafas atau gasping, maka diasumsikan bahwa korban mengalami henti jantung, kemudian segera meminta bantuan darurat.
            Panduan AHA 2010 untuk RJP menekankan untuk memeriksa pernafasan. Penolong mungkin dapat menentukan secara akurat henti nafas, pernafasan yang normal maupun tidak normal pada pasien yang tidak berespon, dikarenakan sumbatan jalan nafas atau sesak nafas biasa yang dapat terjadi pada menit-menit awal setelah SCA. Penolong harus menatalaksana korban dengan sesak nafas seperti menatalaksana korrban henti nafas.
            Panduan AHA 2010 untuk RJP juga menekankan memeriksa denyut nadi sebagai cara untuk mengidentifikasi henti jantung. Penelitian membuktikan bahwa baik orang awam maupun healthcare provider mengalami kesulitan untuk mendeteksi denyut nadi. Karena alasan tersebut maka pemeriksaan denyut nadi dihapuskan. Penolong harus mengasumsikan henti jantung dan segera melakukan RJP jika didapatkan korban dewasa kolaps atau tidak berespon dengan nafas tak normal atau henti nafas. Penolong bisa memeriksa denyut nadi tidak lebih dari 10detik, apabila selama waktu tersebut penolong tidak dapat mendeteksi denyut nadi maka harus segera dilakukan kompresi dada.

2.      Teknik Kompresi Dada
            Untuk memaksimalkan efektifitas kompresi dada, tempatkan korban diatas permukaan yang keras, pada posisi terlentang dengan lutut penolong disamping dada korban atau berdiri disamping tempat tidur. Penolong harus meletakkan tumit tangan di tengah dada korban pada bagian bawah sternum, dan tumit tangan satunya lagi diletakkan di atas tangan. Sternum orang dewasa harus ditekan minimal sedalam 5 cm, dengan waktu untuk kompresi dan recoil dada sama. Biarkan dada mengembang kembali (recoil) setelah masing-masing kompresi. Recoil yang tidak sempurna selama RJP akan menyebabkan tekanan intrathoraks yang tinggi san mengurangi hemodinamik secara signifikan, termasuk perfusi koroner yang kurang, indeks jantung, aliran darah miokardial, dan perfusi serebral. Insiden recoil dada yang tidak sempurna dapat dikurangi selama RJP dengan menggunakan alat perekam elektronik.
            Jumlah kompresi dada per menit berhubungan dengan kembalinya sirkulasi secara spontan. Penelitian pada pasien hentu jantung di rumah sakit menunjukkan bahwa pemberian kompresi dada lebih dari 80 kali per menit berhubungan dengan kembalinya sirkulasi secara spontan, penelitian juga menunjukkan terdapat peningkatan kelangsungan hidup pada kompresi dada sebanyak 120 kali permenit. Oleh karena itu disarankan untuk melakukan kompresi dada saat RJP minimal sebanyak 100 kali permenit.
            Banyak data yang menunjukkan bahwa membatasi frekuensi dan durasi interupsi kompresi dada dapat meningkatkan kondisi klinis yang berarti pada pasien henti jantung. Oleh karena itu, sangat beralasan untuk meminimalisir interupsi kompresi dada untuk memeriksa denyut nadi, menganalisis rime jantung, atau aktivitas lainnya.
            Penolong yang lelah dapat menyebabkan kompresi dada tidak adekuat baik frekuensi maupun kedalamannya. Kelelahan biasanya dapat terjadi setelah 1 menit resusitasi, walaupun ada penolong yang tidak kelelahan sampai lebih dari 5 menit. Ketika terdapat 2 atau lebih penolong maka disarankan untuk bergantian kompresi dada tiap 2 menit (sekitar 5 siklus dengan rasio kompresi-ventilasi 30:2) untuk mencegah berkurangnya kualitas kompresi. Ketika akan dilakukan defibrilasi dengan AED harus dilakukan <5 detik. Jika ada 2 penolong maka satu penolong menunggu pada posisinya untuk melakukan defibrilasi setiap 2 menit.
            Pelayan kesehatan harus melakukan pemberhentian kompresi dada sejarang mungkin dan berusaha untuk tidak berhenti lebih dari 10 detik, kecuali pemberhentian untuk tindakan tertentu seperti memasukkan alat patensi napas atau defibrilator. Karena akan sulit untuk membangkitkan denyut jantung, maka pemberhentian kompresi dada harus diminimalisir selama resusitasi.
Dikarenakan kesulitan dalam menghasilkan kompresi dada yang efektif sementara memindahkan pasien RJP, maka resusitasi dimulai ditempat pasien ditemukan.  hal ini mungkin tidak dapat dilakukan di tempat yang berbahaya.

Rasio Kompresi-Ventilasi
Rasio kompresi-ventilasi yang beralasan pada dewasa adalah 30:2, tetapi dibutuhkan validasi pedoman ini untuk kedepannya. Rasio 30:2 pada pasien dewasa didasarkan pada konsesus para ahli dan telah di buktikan dengan penelitian case series. Penelitian lanjutan dibutuhkan untuk menentukan metode terbaik untuk pengkoordinasian antara kompresi dan ventilasi selama RJP dan untuk memutuskan rasio kompresi-ventilasi terbaik yang menghasilkan keberhasilan pertahanan hidup dan outcame neurologi pada pasien dengan atau tanpa yang alat yang membantu patensi jalan napas.
Dengan bantuan alat yang mempertahankan patensi jalan napas, 2 orang penolong tidak perlu berhenti melakukan kompresi untuk memberikan ventilasi. Malahan, penolong kompresi harus memberikan kompresi dada yang terus menerus dengan frekuensi minimal 100 permenit tanpa berhenti untuk memberikan ventilasi. Ventilasi dapat diberikan setiap 6-8 detik (dengan hasil 8-10 tarikan napas permenit).

Hanya Kompresi pada RJP  
            Hanya sekitar 20-30% dewasa yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit yang menerima bantuan RJP. Kompresi saja pada RJP, pada hakikatnya memperbaiki kelangsungan hidup pada pasien dewasa yang mengalami henti jantung di luar rumah sakit dibandingkan tidak dilakukannya RJP sama sekali. Studi observasi mengenai paisen dewasa yang mengalami henti jantung yang mendapatkan pertolongan oleh orang awam menunjukkan pertahanan hidup yang sama antara korban yang mendapatkan hanya kompresi dada saja dibandingkan dengan yang mendapatkan bantuan RJP konvensional dengan bantuan napas. Sebagai catatan, beberapa tim medis dan orang awam memperlihatkan keengganan untuk melakukan ventilasi dari mulut ke mulut pada pasien henti jantung. Ketika penolong RJP diwawancarai, terkadang keengganan itu tidak terlihat; kepanikanlah yang merupakan penghambat terbesar dalam melakukan pertolongan. Teknik hanya kompresi saja, membantu mengatasi kepanikan.
            Pemberian bantuan pernapasan segera selama henti jantung sebenarnya tidak sepenting kompresi dada, karena oksigen dalam darah masih adekuat untuk menit-menit awal. Sebagai tambahan,banyak pasien henti jantung yang masih bernapas gasping, dan masih terdapat pertukaranantara gas oksigen dan karbondioksida. Jika jalan napas terbuka, pergerakan dinding dada pada saat kompresi memungkinkan pertukaran gas pernapasan. Kadang kala, pada saat yang sama selama RJP yang berkepanjangan, bantuan napas diperlukan.
            Masyarakat awam harus memberikan kompresi dada pada pasien yang diduga menderita henti jantung (baik hanya dengan kompresi saja, maupun ditambah dengan bantuan ventilasi). Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian RJP konvensional oleh masyarakat awam memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan hanya kompresi dada saja sebelum tim medis datang. Penelitian menunjukkan, pada anak-anak yang mengalami henti jantung akibat pada pasien yang kasus nonjantung yang mendapatkan pertolongan RJP dengan bantuan pernapasan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya kompresi dada saja. karena bantuan napas merupakan komponen penting pada keberhasilan resusitasi anak. Untuk kasus henti jantung akibat asfiksia, baik pada anak maupun dewasa, pemberian bantuan naps sangat dianjurkan baik kepada tim medis maupun masyarakat awam.

3.      Manajemen Jalan Napas
Perubahan yang signifikan pada pedoman ini adalah anjuran untuk melakukan kompresi dada sebelum ventilasi (CAB daripada ABC). Perubahan ini didasarkan pada pentingnya kompresi dada, dan karena memposisikan jalan napas membutuhkan waktu. Penggunaan metode ABC dapat dilakukan apabila terdapat banyak penolong. Metode terbaru menjelaskan bahwa CAB membantu efisiensi jalan napas, sehingga saat dilakukannya kompresi tidak terlalu banyak interupsi.

Membuka Jalan Napas: Penolong adalah Masyarakat Awam
Masyarakat awam yang terlatih yang percaya diri bahwa dia mampu melakukan kompresi sekaligus ventilasi harus membukan jalan napas tengan manuver head tilt-chin lift. Untuk penolong yang hanya memberikan kompresi dada saja, dianjurkan untuk memnerikan jalan napas secara pasif (seperti hiperekstensi leher untuk ventilasi pasif).

Membuka Jalan Napas : Tim Medis
Seorang tim medis harus menggunakan manuver head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada korban dengan bukti yang jelas bahwa tidak ada trauma kepala dan leher. Antara 0,12-3,7% korban trauma tumpul mengalami cedera tulang belakang, dan risiko cedera tulang belakang meningkat pada korban trauma kraniofasial, GCS kurang dari 8 atau keduanya. Untuk korban dengan curiga cedera tulang belakang, penolong harus melakukan fiksasi leher bila dibandingkan imobilisasi korban. Apabila dicurigai terdapat cedera tulang belakang, penolong membuka jalan napas dengan menggunakan manuver jaw thrust  tanpa mengekstensikan kepala. Karena mempertahankan patensi jalan napas dan ventilasi merupakan prioritas dalam RJP. Gunakan  manuver head tilt-chin lift apabila manuver  jaw thrust tidak adekuat membuka jalan napas.

4.      Bantuan Pernapasan
AHA Guidelines for RJP and ECC 2010 menyusun banyak kesamaan rekomendasi mengenai bantuan pernapasan dengan yang terdapat pada 2005:
  • Memberikan bantuan pernapasan lebih dari 1 detik setiap kalinya
  • Memberikan volume tidal yang cukup untuk gerakan dinding dada
  • Perbandingan kompresi : ventilasi adalah 30:2.
  • Apabila telah terpasang alat yang menjamin patensi jalan napas (seperti endotracheal tube, Combitube, laringeal mask  airway [LMA], dengan 2 penolong RJP, berikan bantuan pernapasan setiap 6 sampai 8 detik tanpa harus menyamakan dengan irama kompresi (hal ini akan menghasilkan irama pernapasan 8 sampai 10 kali/menit). Saat dilakukannya bantuan ventilasi, kompresi tidak boleh dihentikan.
Hasil penelitian pada orang dewasa yang dalam pengaruh anestesi (dengan perfusi normal), volume tidal 8-10 mL/kg mengandung oksigenasi yang cukup dan eliminasi CO2. Selama RJP, curah jantung adalah 25-30% dari normal, sehingga ambilan oksigen dari paru dan pemasokan CO2 ke paru menurun. Sebagai hasilnya, ventilasi yang sesaat (lebih rendah dari volum tidal normal dan kecepatan pernapasan) dapat mempertahankan oksigenasi dan ventilasi yang efektif. Karena alasan ini, selama RJP pada dewasa, volum tidal mendekati 500 sampai 600 mL (6-7 mL/kg) harus mencukupi. Hal ini sesuai dengan bahwa volume tidal yang menghasilkan pergerakan dinding dada.
            Pasien dengan sumbatan jalan napas atau ganguan fungsi paru akan membutuhkan tekanan tinggi agar ventilasi tercukupi (untuk pengembangan paru). Pemberian tekanan pada saat resusitasi napas dengan menggunakan bag-mask akan menyebabkan tersedianya suplai volum tidal yang cukup pada pasien ini. Pastikan bahwa bag-mask dapat digunakan dengan tekanan tinggi, jika perlu sampai tercapainya pengembangan paru. Ventilasi yang berlebihan tidak diperlukan dan dapat menyebabkan inflasi lambung, sehingga menimbulkan komplikasi berupa aspirasi dan regurgitasi. Lebih penting lagi, ventilasi yang berlebihan akan berakibat buruk karena hal ini akan meningkatkan tekanan intrathoraks, menurunkan aliran balik vena ke jantung, dan mengurangi curah jantung. Kesimpulannya, penolong harus menghindari ventilasi yang berlebihan (frekuensi napas yang terlalu sering atau volume yang terlalu besar) selama RJP.
            Selama RJP, tujuan utama ventilasi adalah untuk mempertahankan oksigenasi yang adekuat; disamping eliminasi. Biarpun, konsentrasi oksigen inspirasi yang optimal, volum tidal dan frekuensi pernapasan untuk memenuhi tujuan di atas tidak diketahui. Sebagai catatan, selama menit pertama saat henti jantung, bantuan pernapasan tidak sepenting kompresi dada, karena kandungan oksigen di sisa nonsirkulasi darah arteri tidak berubah sampai RJP dimulai; kandungan oksigen dalam darah tetap adekuat selama menit-menit pertama RJP. Sebagai tambahan, percobaan untuk membuka jalan napas dan memberikan bantuan napas akan menunda inisiasi untuk kompresi dada. Masalah ini yang mendukung diterapkannya pendekatan CAB pada  2010 AHA Guidelines for RJP and ECC (dengan kata lain, dimulai dengan kompresi dada sebelum membuka jalan napas dan bantuan pernapasan).
Untuk korban henti jantung yang lama, baik ventilasi maupun kompresi penting karena oksigen yang lama di darah telah dipergunakan dan oksigen di paru menurun. Ventilasi dan kompresi juga penting untuk korban asfiksia, seperti anak-anak dan korban tenggelam, karena pada mereka terjadi hipoksemia pada saat henti jantung.

Bantuan pernapasan dari mulut ke mulut
            Bantuan pernapasan dari mulut ke mulut menyuplai oksigen dan ventilasi untuk korban. Untuk melakukan bantuan pernapasan dari mulut ke mulut, buka jalan napas korban, pencet hidung korban, dan buat saluran kedap udara dengan merapatkan mulut penolong dan korban. Berikan 1 napas selama 1 detik, ambil napas biasa (bukan napas dalam), dan berikan bantuan napas kedua selama 1 detik. Pemilihan napas biasa dibandingkan napas dalam dimaksudkan untuk mencegah inflasi yang berlebihan pada paru korban. Penyebab utama terjadinya kesulitan ventilasi adalah kesulitan saat membuka jalannapas, sehingga apabila dada korban tidak mengembang dengan bantuan napas yang pertama, posisikan kepala kembali dengan manuver head tilt-chin lift, kemudian berikan bantuan naps kedua.
Jika seorang korban dengan sirkulasi spontan (dengan kata lain, nadi kuat teraba) memerlukan bantuan pernapasan, penolong harus memberikan bantuan napas setiap 5-6 detik, atau sekitar 10-12 tarikan napas permenit. Setian napas yang  diberikan harus menimbulkan pengembangan paru.

Bantuan Pernapasan dari Mulut ke Alat Penghubung
Beberapa penolong baik dari kalangan medis atau masyarakat awam ragu-ragu untuk memberikan bantuan napas dari mulut ke mulut dan memilih untuk menggunakan alat penghubung. Risiko penularan penyakit melalui mulut ke mulut sebenarnya sangat rendah, sehingga memungkinkan untuk melakukan ventilasi dari mulut ke mulut. Apabila bantuan napas diberikan menggunakan penghubung, penolong tidak boleh menunda untuk melakukan kompresi dada hanya karena memasang alat penghubung bantuan napas.
Bantuan napas dari mulut ke hidung dianjurkan jika ventilasi melalui mulut tidak memungkinkan (misal, mulut mengalami trauma serius), mulut tidak bisa dibuka, korban berada di dalam air, atau bantuan mulut ke mulut susah dilakukan. Sebuah penelitian case series membuktikan bahwa pemberian bantuan dari mulut ke mulut pada dewasa sangan memungkinkan, aman dan efektif.
Pemberian bantuan napas dari mulut ke stoma pada pasien dengan trakhea stoma diharuskan untuk dilakukan. Alternatif yang beralasan lainnya adalah dengan membuat lubang sempit yang kedap udara di atas stoma. Tidak ada bukti yang kuat untuk keamanan, efektifitas atau kemungkinan untuk melakukan bantuan napas dari mulit ke stoma. Sebuah penelitian menunjukkan, pada pasien dengan laringektomy, penggunaan sungkup anak mem.berikan hasil ventilasi yang lebih baik dari pada penggnaan sungkup dewasa.

Ventilasi dengan Ambu dan Sungkup
Penolong dapat memberikan ventilasi sungkup dengan udara ruangan atau oksigen. Ventilasi menggunakan sungkup memberikan ventilasi tekanan positif tanpa alat yang mempertahankan jalan napas; oleh karena itu, penggunaan sungkup dapat menyebabkan inflasi lambung dan komplikasinya.

Ambu dan sungkup
Ambu dan sungkup harus memiliki: katup yang tidak boleh tersumbat,tidak ada perbedaan tekanan yang melewati katup atau perbedaan tekanan mampu melewati katup; ukuran penghubung standar 15/22 mm; sebuah reservoar oksigen yang memungkinkan mengalirkan konsentrasi oksigen tinggi; sebuah katup nonrebreathing yang tidak bisa tersumbat oleh benda asing dan tidak akan tersumbat oleh aliran oksigen 30L/menit; dan kemampuan untuk berfungsi secara baik pada kondisi lingkungan apa saja termasuk cuaca yang ekstrim.
Sungkup harus terbuat dari material transparan agar memungkinkan terdeteksinya regurgitasi. Sungkup harus mampu menjadi lubang yang kedap udara yang menempel di wajah, menutupi mulut dan hidung. Sungkup harus memiliki aliran masuk oksigen yang memiliki penghubung dengan panjang standar 15/22mm. Sungkup harus sesuai dipakai untuk ukuran dewasa dan ukuran anak-anak.

Ventilasi Sungkup-Ambu
Ventilasi menggunakan sungkup memerlukan keahlian khusus. Teknik ini tidak dianjurkan untuk satu penolong. Teknik ini efektif dilakukan apabila terdapat 2 orang penolong yang terlatih. Seorang penolong membuka jalan napas dan memberikan ventilasi. Kedua penolong harus melihat pada pengembangan dada pasien.
            Penolong harus menggunakan sungkup dewasa untuk menyuplai oksigen mendekati 600mL volume tidal untuk pasien dewasa. Jumlah ini biasanya mampu menghasilkan pengembangan paru dan mampu mempertahankan oksigen yang adekuat dan keadaan normokarbia pada pasien apnea. Jika jalan napas terbuka dengan baik, terdapat kedap udara antara sungkup dan wajah, maka oksigen akan masuk sebanyak 2/3 dari 1 L ambu dewasa atau 1/3 dari 2L ambu dewasa. Apabila tidak terpasang alat yang menjamin patensi jalan napas, makapenolong harus melakukan kompresi dada : ventilasi sebanyak 30:2. Penolong yang berasal dari tim medis harus memberikan oksigen tambahan (dengan konsentrasi O2 40%, dengan aliran rata-rata 10-12 L/menit) jika memungkinkan.

Ventilasi denganAlat Patensi Jalan Napas
            Dengan terpasangnya alat patensi jalan napas, penolong bisa memaksimalkan kompresisi dada lebih dari 100kali permenit tanpa harus diselingin dengan pemberian ventilasi.

Penekanan Krikoid
Penekanan pada krikoid adalah sebuah teknik yang mennggunakan tekanan pada tulang rawan krikoid korban untuk menekan trakea ke arah posterior dan menekan esofagus ke tulang belakang bagian servikal. Teknik ini dapat mencegah inflasi lambung dan mengurangi risiko regurgitasi dan aspirasi selama pertolongan ventilasi dengan sungkup namun hal ini sulit dilakukan. Sehingga tidak dianjurkan pelaksanaannya.

5.      AED Defibrillation
Seluruh penyedia BHD harus terlatih untuk memberikan defibrilasi karena fibrilasi vetrikuler (FV) adalah hal yang sering terjadi dan dapat ditatalaksana secepatnya. Harapan hidup korban tinggi apabila penolong RJP mampu memberikan defibrilasi secara cepat. Pemberian kompresi dada menjelang alat defibrilasi siap digunakan sangat membantu pertahanan hidup korban.
           
6.      Posisi Pemulihan
            Posisi ini dilakukan pada korban yang tidak berespon, yang memiliki usaha napas baik dan sirkulasi yang efektif. Posisi ini dirancang untuk mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi. Pasien dimiringkan ke satu sisi, dimana posisi lengan bawah di depan tubuh. ada banyak posisi pemulihan yang bisa digunakan, disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Pada prinsipnya, posisi ini harus sabil, mendekati posisi lateral, kepala harus tersangga, dan dada harus bebas dari tekanan.


7.      Resusitasi pada Keadaan Khusus

Sindroma Koroner Akut (SKA)
Hal yang penting diketahui oleh keluarga pasien yang berikiko menderita sindroma koroner akut adalah mengetahui tanda dan gejala serangan sindroma koroner akut. Deteksi dini, diagnosis, dan penanganan yang tepat dapat mencegah kerusakan pada jantung dan menghasilkan prognosis yang baik. Tanda klasik dari SKA adalah nyeri dada, nyeri pada tubuh bagian atas, sesak, mual, berkeringat, dan sakit kepala. Pertolongan gawat darurat yang bisa diberikan tim medis adalah dengan menyurus pasien untuk mengunyah aspirin, dengan syarat pasien tidak alergi aspirin dan tidak ada perdarahan lambung dalam waktu dekat. Selain itu berikan oksigen untuk pasien. Lalu pasien dirujuk ke rumah sakit pusat jantung.

Stroke
Pasien dengan risiko tinggi menderita stroke, maka keluarga dan penyedia BHD harus mampu mendeteksi sedini mungkin tanda dan gejala serangan stroke sehingga dapat secepat mungkin menghubungi sistem medis gawatdarurat saat serangan terjadi. Gejala dan tanda serangan stroke adalah tiba-tiba terasa kebas atau lemah pada wajah, lengan, atau kaki, khususnya pada salah satu sisi tubuh; tiba-tiba bingung, susah berbicara atau mengerti pembicaraan; tiba-tiba pandangan kabur pada satu atau kedua mata; tidak bisa berjalan secara tiba-tiba, pusing, kehilangan keseimbangan, dan tiba-tiba kepala terasa sakit hebat tanpa sebab yang jelas. Pertolongan pertama yang bisa diberikan adalah dengan memastikan pasien cukup oksigen yaitu dengan memberikan oksigen secara langsung sambil pasien di rujuk ke rumah sakit.

Tenggelam
Yang ditakutkan dari tenggelam adalah terjadinya hipoksia. Maka dari itu, penolong harus mampu memberikan bantuan napas sesegera mungkin setelah pasien di evakuasi dari dalam air. Hal yang pertama diberikan adalah RJP sebanyak 5 siklus. Bantuan napas dari mulut ke mulut selama di dalam air mungkin membantu ketika penolong adalah penolong terlatih.




Hipotermia
Jika korban tidak berespon terhadap bantuan napas normal, maka dapat diberikan kompresi dada sesegera mungkin. Lepaskan seluruh pakaian pasien dan selimuti pasien dengan selimut yang hangat, jika memungkinkan berikan oksigen.

Sumbatan Jalan Napas oleh Benda Asing (Tersedak)
Apabila kita menemukan pasien tersedak, maka manuver yang bisa digunakan adalah dengan menepuk punggung pasien, mendorong perut atau mendorong dada pasien. Apabila tidak berhasil bisa dilakukan ekstraksi menggunakan Magill forsep.

8.      Kesimpulan
Langkah-langkah dari BHD adalah:
  • Sesegera mungkin mengenal dan bereaksi terhadap kondisi gawat darurat
  • Sedini mungkin melakukan RJP
  • Defibrilasi cepat untuk kasus fibrilasi ventrikuler
Ketika seorang dewasa tiba-tiba kolaps, siapapun yang berada didekatnya harus melakukan panggilan kepada tim gawat darurat dan segera melakukan kompresi dada. Penolong yang terlatih dan tim medis harus mampu memberikan kompresi dada dan ventilasi. Bertolak belakang dengan pakem yang berkembang pada situasi ini, RJP tidak membahayakan. Tidak berbuat apa-apa justru membahayakan dan RJP dapat menyelamatkan nyawa. Kompresi dada harus segera dilakukan dengan cara menekan secara dalam dan cepat pada bagian tengah dada. Penolong harus mengevaluasi apakah terjadi pengembangan dinding dada setiap melakukan kompresi dan meminimalisir interupsi saat dilakukannya kompresi. Ventilasi yang berlebihan sebaiknya dihindari. Jika memungkinkan pasang otomatis eksternal defibrilasi, tanpa menunda dilakukannya kompresi dada. Dengan melkasanakan bantuan hidup dasar yang cepat, tepat dan efektif, banyak nyawa yang bisa diselamatkan setiap harinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar